Kalamakan.com – Pernah tidak, kamu kepikiran tentang rupa hidangan pada masa kolonial dulu? Kalau belum, mari sama-sama kita cari tahu! Beberapa waktu lalu, saya membaca novel Siedjah yang ditulis oleh Nico Vink. Di novel itu diceritakan perjalanan Sied si tokoh utama menuju Hindia untuk mengabdi sebagai guru.
Di kapal, ia dijamu dengan berbagai hidangan mewah. Hidangan yang juga disesuaikan dengan kondisi wilayah yang sedang diseberangi.
Vink menarasikan hidangan yang ditemui oleh Sied seolah seperti jamuan pesta besar dan mewah. Awalnya saya sulit membayangkan perjamuan makan di atas kapal.
Untungnya, membaca Siedjah beriringan dengan waktu saya menonton They Call Me Babu. Visual perjalanan dan kondisi dalam kapal di film yang disutradarai oleh Sandra Beerends itulah yang menjawab rasa penasaran saya. Kira-kira, berawal dari sinilah pikiran saya terusik dengan rupa hidangan di masa kolonial.
Mengenal Rijsttafel
Perjalanan membaca dan menonton saya seperti sambut-menyambut dan saling terkait. Melalui kata kunci “kuliner kolonial”, saya menemukan buku berjudul Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial 1870 – 1942 yang ditulis oleh Fadly Rahman. Salah satu jawaban atas rasa penasaran saya tentang kuliner Indonesia pada masa kolonial.
Rijsttafel merupakan salah satu bentuk dari kebudayaan Indis, kebudayaan yang dapat disebut sebagai perpaduan antara penjajah (Barat) dan Pribumi yang mulai merebak pada abad ke-19.
Rijsttafel berasal dari kata rijst yang berarti nasi dan tafel yang berarti meja, kemudian juga dikenal sebagai “hidangan nasi”. Akan tetapi, hidangan itu bukanlah hidangan nasi biasa. Namun, rijsttafel ialah hidangan nasi spesial dengan memadukan kebiasaan jamuan makan Pribumi dengan jamuan Belanda.
Rijsttafel diawali dari kebiasaan para lelaki Eropa yang hidup membujang di wilayah jajahan. Saat itu, mereka tidak diperkenankan untuk membawa istri atau pasangan Eropa mereka ke Hindia.
Baca juga: Kenapa Bernama Nasi Padang?
Hal itu kemudian menyebabkan mereka berdampingan dengan perempuan-perempuan Pribumi yang melahirkan generasi Indo-Eropa. Generasi baru tersebut turut memunculkan gaya hidup baru.
Rob Nieuwenhuys juga menjelaskan bahwa istilah rijsttafel mulai muncul dan berkembang setelah pembukaan Terusan Suez. Pembukaan terusan tersebut menyebabkan meningkatnya kedatangan orang Eropa ke Hindia Belanda.
Penegas Perbedaan Status Sosial
Di Hindia Belanda, rijsttafel ialah wujud kemewahan gaya hidup kolonial. Akan tetapi, melalui hidangan mewah itu pulalah budaya kuliner Pribumi kemudian dikenal oleh mancanegara. Hal itu dikarenakan adanya pengembangan wisata kuliner pada masa kolonial.
Rijsttafel memiliki kedominanan populer dan berkembang di pulau Jawa. Tentu saja, ini terkait dengan kebijakan Belanda yang menjadikan pulau Jawa sebagai pusat kekuasaan.
Pada perkembangannya, kebudayaan Barat pun banyak yang diadopsi oleh elite Pribumi. Hal itu salah satunya tampak melalui gaya hidup hingga aktivitas perjamuan makan.
Agar populer, rijsttafel ditampilkan dalam berbagai media seperti buku masak, majalah, dan panduan wisata. Perpaduan hidangan antara Pribumi dan hidangan dari negeri asing itu kemudian mengawali perkembangan kuliner modern Indonesia di kemudian hari. Melalui rijsttafel pula, hidangan Pribumi menjadi istimewa kedudukannya di hadapan para kolonial.
Meskipun demikian, kolonial tidak secara langsung mengakui hal itu. Bagi mereka, hidangan pribumi diposisikan sebagai subordinasi. Cara makan pribumi dengan hanya menggunakan tangan dan piring sebagai alas, serta sambil duduk bersila di lantai dianggap kurang beradab.
Oleh sebab itu, untuk menegaskan status sosial yang berbeda, mereka memperkenalkan cara makan ala Eropa seperti menggunakan peranti sendok, garpu, pisau, serta makan di atas meja makan.
Baca juga: Nasi Sek, Nasi Bungkus Porsi Kecil Khas Pariaman
Hidangan Eropa pun turut dihidangkan seperti beafstuk, resoulles, dan soep. Di samping itu, tentu terdapat bidangan khas pribumi seperti soto, nasi goreng, gado-gado, lumpia, berbagai jenis sayur, sambel, dan berbagai macam lauk. Rijsttafel menunjukkan adanya bentuk saling memengaruhi antara pribumi dan Belanda.
Akan tetapi, kebiasaan kolonial ialah membentuk citra ekslusif demi status sosial mereka dengan menyubordinasikan kedudukan pribumi.